DASAR-DASAR PENELITIAN
Kajian Adat Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk
Karya Buya Hamka
Oleh :
Wulan Juliani
201410080311051 / 3A
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat Sastra pada dasarnya adalah segala apa yang ditulis dalam peradaban atau kebudayaan suatu bangsa. Sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan bangsa. Sastra selalu merekam kehidupan manusia. Sastra merangsang hati dan perasaan kita terhadap kemanusiaan, kehidupan dan alam sekitar. Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama.Daerah Minangkabau salah satu wilayah kebudayaaan di Indonesia patut juga mendapatkan perhatian yang sama dengan kebudayaan lain di Indonesia. Bahwa kebudayaan adalah hasil proses dari masyarakat, berupa keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat yang bersisikan aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan sebagainya.
Dalam pandangannya masyarakat Minangkabau masih mengenal sekali adat atau kebiasaan kebudayaan dari leluhur sebelumya. Sebuah pemahaman bahwa bagi masyarakat Minangkabau dengan adanya sebuah proses pengadatan yang mendalami nilai-nilai dari proses adat. Satu hal lagi yang perlu dipahami tentang keunikan adat istiadat di Minangkabau adalah bahwa adat telah ada jauh sebelum agama Islam masuk ke Sumatera Barat. Pada kalangan masyarakat Minangkabau masih mengenal sekali bagaimana bentuk-bentuk adat yang ada di lingkungannya yakni hukum-hukum adat, susunan masyarakat, keselaran, luhak, rantau, adat dan macamnya, hukum waris, perkembangan kearah susunan baru, dan kebiasaan lainnya. Dengan adanya adat-adat kebudayaan Indonesia bisa melestarikannya dan membuktikan bahwa masih kental dengan kebudayaan masing-masing yang belum tercampur dengan kebiasaan orang luar atau orang asing.
Dari uraian di atas persoalan yang diperlihatkan dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka ini sangat menarik untuk diteliti. Penelitian ini perlu dilakukan, karena didalam ada unsur kebudayaan yang dialami oleh tokoh utama ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kajian adat Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk”karya Buya Hamka dapat mengetahui pengaruh adat Minangkabau terdapat karya sastra. Pada karya sastra sangat terikat dengan adanya kebudayaan dan adat istiadat (kebiasaan) termasuk dalam karya sastra karya Buya Hamka yang berkaitan dengan agama, sosial kebudayaan dan termasuk adat. Dengan adanya kajian ini dapat membagikan pengetahuan kebudayaan dan adat Minangkabau dalam karya sastra. Dalam karya sastra dapat mengetahui dan mengkaji sejarah yang ada pada novel, unsur-unsur apa saja yang ada dalam novel dan bentuk-bentuk adat minangkabau yang ada dalam novel tersebut. Dengan hal ini pembaca dapat memperoleh ilmu dalam kajian adat Minangkabau pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana macam adat kebudayaan Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka?
2) Bagaimana bentuk adat kebudayaan Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka?
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui macam adat kebudayaan Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
2) Untuk memahami berbagai bentuk adat kebudayaan Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
1. Adat kebudayaan dan Macamnya
Secara umum budaya sendiri budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah. Kata Buddayah adalah bentuk jamak dari Buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Menurut Koentjaraningrat (1974), secara etimologis kata “kebudayaan” berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal. namun ada yang beranggapan pula bahwa kata “budaya” berasal dari kata majemuk Budi daya yang berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Seorang antropolog Inggris Edward B. Taylor (1832-1917) mengatakan bahwa kultur adalah keseluruhan yang kompleks termasuk Edward B. Tylor adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusastraan dan peradaban Yunani dan Rum klasik yang kemudian tertarik pada dunia etnografi dan mulai melakukan beberapa kajian terkait fenomena keagamaan, salah satu bukunya yang terkenal adalah Primitive Culture; Research into the Development of Mythology, Philosophy,Religion, Language, Art and Custom (1874), dalam Koenjtaraningrat, didalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat.
Adat dalam minangkabau merupakan kebudayaan yang utuh. Adat mengatur segala bentuk kehidupan peribadi dan masyarakat yang berlandaskan budi-pekerti yang baik dan mulia. Hal tersebut juga telah diungkapkan pada untaian kata pusaka “iduik dikanduang badan, mati dikanduang tanah”. Lalu apa yang dimaksud dengan adat minangkabau sendiri?. Adat minangkabau merupakan suatu susunan peraturan hidup yang diatur secara tertulis dalam bentuk kata-kata yang mengandung makna. “kato-kato” merupakan serangkaian istilah adat, maksudnya serangkaian perkataan yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua kalimat pendek, namun memiliki makna yang sangat luas. Dalam adat minangkabau juga melarang perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang benar. Orang yang tidak sesuai dengan peraturan sering disebut “urang indak ba adat”.
Dalam konsepnya, adat minangkabau didasarkan pada kenyataan yang hidup dan berlaku dalam alam. Adat tersusun dari serangkaian kata-kata, kata-kata berbentuk pertatah-petiti, dengan alam sebagai dasarnya. Seperti yang telah dijelaskan pada artikel falsafah minangkbau. Disana dijelaskan, orang minangkabau menjadikan alam sebagai sumber falsafah dalam membentuk adat disebut “alam takambang jadi guru”. Alam dengan sifat, bentuk, dan kehidupannya, dijadikan orang minangkabau untuk merumuskan adat. sifat alam yang tetap dijadikan “adat babuhua mati” dan sifat alam yang tidak tetap dijadikan “adat babuhua sintak”. berdasarkan semua itu, di Minangkabau lahirlah empat tingkat (macam) adat yang sudah sering di ucapkan atau adat yang telah beberapa lama dipakai sejak turun-temurun “ (1) adat nan sabana adat, (2) adat nan di adatkan, (3) adat nan taradat, (4) adat istiadat”.
Sebelumnya sudah dijelaskan konsep minangkabau berdasarkan kepada alam, yang dituangkan kedalam kata-kata dalam bentuk pertatah-petitih. Kata petatah adalah patokan adat masyarakat minangkabau. Pertatah disebut juga dengan pepatah, asal katanya ialah tatah bukan patah, artinya pahatan dan patokan. Petatah atau pepatah dalam bahasa minangkabau diartikan pahatan kata, atau patokan atau kata-kata yang mengandung pahatan kata atau patokan kata yang berupa hukum. Petiti berasal dari kata titi artinya atur dengan seksama, dengan betul, benar dan dengan tepat. Petiti dalam bahasa minangkabau diartikan sebagai aturan yang mengatur pelaksanaan adat dengan seksama. Jadi pertatah atau pepatah merupakan patokan yang menjadi norma hukum, dan petiti mengandung peraturan yang mengatur batas-batas pelaksanaan norma tersebut. Lalu, seperti apa contoh yang dimaksud ?, Dalam kata petatah dijelaskan “iduik di kanduang adat”. Kata petatah tersebut diatur pelaksanaannya dalam kata petiti, yaitu “adat iduik tolong-manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat lai bari-mambari, adat indak basalang-tinggang.
Pada bagian atas, dijelaskan bahwasannya ada 4 macam adat yaitu:
Pertama, “adat nan sabana adat” merupakan segala kenyataan yang berlaku dalam alam sebagai kodrat Ilahi. Segala sesuatu yag berjalan sepanjang masa dan tidak mengalami perubahan. Contoh yang kita maksud dengan adat ini “adat api mambaka, adat aia mambasahi, adat ayam bakokok, adat murai bakicau, adat lauik ba ombak”.
Adat nan sabana adat adalah adat yang asli, sebagai dasar untuk membuat adat lainnya. Seperti dalam kata pusaka minangkabau disebutkan “indak lakang karano paneh, indak lapuak karano hujan, dicabuik indak mati, dipindah indak layua”.
Pada saat islam masuk kedalam ranah minangkabau, islam diterima dan diakui sebagai aturan kehidupan umat. Ajaran islam didasarkan kepada wahyu Allah, diakui sebagai sesuatu yang pasti seperti pastinya kenyataan yang berlaku dalam alam. Adat minangkabau sangatlah sejalan dengan ajaran Islam, sehingga sangat mudah diterima oleh masyarakat minangkabau kala itu. Semua itu telah dinyatakan dalam kata pusaka, “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”
Kedua, “adat nan diadatkan” merupakan sesuatu yang telah dirancang oleh nenek morang orang minangkabau, lalu diteruskan dan dijalankan sebagai peraturan dalam kehidupan masyarakat di segala bidang. Adat ini melingkupi seluruh segi kehidupan terutama dalam sosial-budaya,dan hukum. Semua terhimpun dalam “undand nan duo puluah dan cupak nan ampek”. Undang adalah undang-undang yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Undang-undang tersebut tidak tertulis tetapi diketahui dan ditaati oleh semua orang minangkabau, bagi yang melanggar maka diberlakukan sanksi dan hukuman. Cupak adalah penakar, maksudnya ukuran dan norma yang dijadikan standar untuk mengukur dan menilai segala tindakan orang minangkabau dalam kehidupan.
Adat nan diadatkan disusun berdasarkan adat nan sabana adat. Karena adat itu adalah aturan hidup, sedangkan kehidupan manusia bergerak dengan dinamikanya, maka berubah-ubahnya adat untuk melaraskan diri dengan kehendak atau kebutuhan zaman biasa digambarkan oleh kata-kata. Dengan adanya penyusunan tersebut dilakukan dengan kesepakatan nenek moyang minangkabau. Maka untuk mengubahnya juga diperlukan kesepakatan. Adat ini dapat berubah dan diubah seperti yang telah dijelaskan dalam kata pusaka,
Jikok di cabuik, mati
Jikok diasak, layua
Ketiga,”adat nan taradat” ialah adat yang terpakai yang berbeda di dalam sanagari-sanagari, saluhak-saluhak, salaras-salaras yang merupakan aturan disesuaikan menurut keadaan dan tempat. Juga merupakan aturan-aturan untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman.
Adat nan taradat juga merupakan ketentuan yang dibuat dengan kesepakatan niniak mamak dalam suatu nagari, serta berlaku untuk nagari tersebut. Biasanya, ketentuan terebut disesuaikan dengan keadaan nagari tersebut. Hal ini disebabkan karena kebutuhan setiap nagari berbeda. Tujuan dari dibentuknya adat ini agar terlaksananya adat nan diadatkan. Diungkapkan dalam kata pusaka;
Lain padang lain balalang
Lain lubuak lain ikannyo
Cupak sapanjang batuang
Adat salingka nagari
Keempat, “adat istiadat” yang dimaksudkan dengan adat istiadat ialah berkaitan dengan kata pepatah. Adat istiadat ini merupakan kebiasaan yang sudah berlaku di suatu tempat. Kebiasaan ini berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan. Kebiasaan ini disusun oleh niniak mamak dan pemangku adat. tentunya tidak boleh bertentangan dengan adat nan taradat. Seperti contoh, upacara turun mandi, upacara sunat rasul, atau dalam kebiasaan lain seperti bermain layang-layang setelah musim menuai, atau berburu babi ketika musim panas. Ada yang lain dengan kata pepatah :
Di mano batang taguliang
Di sinan tindawan tumbuh
Di mano tanah dipijak
Di sinan langit dijunjung
Kata- kata di atas mengibaratkan bagaiman seseorang harus menyesuaikan diri dengan adat setempat yang berbeda-beda, atau biasa juga dikiaskan sebagai berikut:
Di mano air urang di sauak
Di siram adat urang diturut
Ruang lingkup adat istiadat ini sangat sempit, hanya berlaku pada bagian masyarakat yang lebih kecil seperti desa atau kampung. Jika dalam sebuah nagari terdapat beberapa desa, maka setiap desanya kemungkinan terdapat adat istiadat yang berbeda-berbeda. Tergantung kepada kebiasaan dan kesenangan masyarakat sekitar.
Dari 4 macam ini yang sering dibicarakan hanya mengenai adat nan diadatkan. Karena ini merupakan aturan-aturannya yang banyak bersangkutan dengan susunan masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melakukan kajian terhadap novel“Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Metode deskriptif ini digunakan untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, kemudian menginterpretasikannya.Selanjutnya, deskriptif data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif (Moleong, 2007: 6).
Pada penelitian ini metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kajian adat kebudayaan Minangkabau dalam novel“Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka. Temuan penelitian ini berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dan dibaca berulang-ulang kali dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka yang mengandung nilai kebudayaan yakni hukum adat atau kebiasaan masyarakat Minangkabau.
3.2 Objek Penelitian
Sangidu (2004: 61) menyatakan bahwa objek penelitian sastra adalah pokok atau topik penelitian sastra. Objek penelitian ini adalah nilai-nilai kebudayaan adat Minangkabau dalam lingkungan masyarakat pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
Penulis melakukan penelitian terhadap teks-teks yang mencerminkan adanya kajian-kajian adat dalam kebiasaan masyarakat Minangkabau yang diterima Zainuddin dan Hayati serta perjuangannya dalam kehidupan yang terjadi pada kedua karakter tersebut.
3.3 Data dan Sumber Data
a) Data
Menurut Sangidu (2004 : 61), data penelitian sastra adalah bahan jadi penelitian yang terdapat dalam karya-karya sastra yang akan diteliti. Data penelitian ini adalah teks-teks yang mengandung nilai-nilai kebudayaan adat Minangkabau dalam lingkungan masyarakat dan alat-alat beradat yang digunakan pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
b) Sumber Data
Sumber data terkait dengan subjek penelitian dari mana data diperoleh (Siswantoro, 2010 : 72). Dalam penelitian ini sumbernya adalah novel dengan judul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka yang diterbitkan di Jakarta pada Januari 1999 oleh Bulan Bintang dengan jumlah halaman 224, terdiri atas 28 sub judul. Data ini akan diperoleh dengan dibaca berulang-ulang kali untuk mendapatkan hasil yang valid dan sesuai penelitian.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah penelitian sendiri, artinya seluruh kegiatan penelitian dimulai dari perencanaan sampai melaporkan hasilnya dilakukan oleh peneliti dengan pengetahuan mengenai sikap tokoh dan kebiasaan masyarakat adat kebudayaan Minangkabau. Kegiatan penelitian dilakukan guna mendeskripsikan dan memahami macam adat kebudayaan Minangkabaudan bentu-bentuk hukum adat kebudayaan Minangkabau dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
4.1 Macam adat kebudayaan Minangkabau pada kisah tokoh utama dalam novel“Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
Adat nan diadatkan (oleh nenek-moyang)
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas yakni dengan meneliti, mempedomani, mempelajari alam sekitarnya oleh nenek-moyang orang Minangkabau, maka disusunlah ketentuan-ketentuan alam dengan segala fenomena-fenomenanya menjadi pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat dengan mengambil perbandingan dari ketentuan alam tersebut, kemudian dijadikan menjadi kaidah-kaidah sosial untuk menyusun masyarakat dalam segala bidang seperti : ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, keamanan, pertahanan dan sebagainya.
Karena pepatah-petitih tersebut dicontoh dari ketentuan alam sesuai dengan fenomenanya masing-masing, maka kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan sumbernya tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun. Justru kedua jenis Adat pada huruf a dan b karena tidak boleh dirobah-robah disebut dalam pepatah :
Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.
Artinya adalah Kebenaran dari hukum alam tersebut . Selama Allah SWT, sebagai sang pencipta ketentuan alam tersebut tidak menentukaan lain, maka ketentuan alam tersebut tetap tak berobah.
contoh pepatah :
contoh pepatah :
lawik barombak, gunuang bakabuik,
lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Adat nan diadatkan nenek moyang adalah merupakan pokok-pokok hukum dalam mengatur masyarakat Minangkabau dalam segala hal, yang diadatkan semenjak dahulu sampai sekarang. Uraian secara agak mendasar kita kemukakan dalam halaman selanjutnya pada kaidah-kaidah dalam pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun, dan gurindam Adan nantinya. Pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam Adat yang disusun dari ketentuan-ketentuan alam dengan dengan segala fenomenanya itu berguna untuk mengungkapkan segala segala sesuatu dalam pergaulan seperti : Menyuruh, melarang, membolehkan, ke-baikan, keburukan, akibat yang baik, akibat yang buruk, kebenaran, keadilan, kemakmuran, kerusuhan, kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan, bahaya yang menimpa, kesenangan, kekayaan, kemiskinan, kepemimpinan, kepedulian, rasa sosial, keluarga, masyarakat, moral dan akhlak, dan sebagainya.
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka terdapat kutipan-kutipan berikut:
“Seorang anak muda bergelar pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tungggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gandang (Bulan Bintang 1999: 05).”
“Sesudah hampir enam bulan dia di tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangannnya orang kepadanya bukan pandangan sama rata, hanya ada juga kurangnya. Sehingga lam-lama insaflah dia perkatan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demekian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula (Bulan Bintang 1999: 21).”
“Meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di Sumatra Barat tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari cengkeramannya (Bulan Bintang 1999: 22).”
“Ketika meminta janji itu, si kerabat beralasan bahwa mamak-mamaknya belum cukup hadir, padahal memang disengaja tidak hadir. Dikatakan bakonya perlu tahu, sapih belahan empat jurai di kampong anu, hindu suku di dusun anu, perlu tahu lebih dahulu. Maksudnya ialah untuk memperlihatkan ketinggian adat istiadat yang dipakai, meninggikan derajat pusaka yang dijawat turun temurun (Bulan Bintang 1999: 95).”
“Setelah segala permintaan dari pihak aziz disampaikan orang kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula surat yang dikirm Zainuddin, diadakanlah permusyawaratan ninik mamak menurut adat yang terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelih ayam empat ekor. Dibentangkan tikar pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah pukul 7 pagi, diundur ke sawah dan ke ladang buat sehari itu (Bulan Bintang 1999: 101).”
Adat Teradat
Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat dalam suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan aturan-aturan pokok tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang dahulunya. Sebagai contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih, mamang, bidal, Adat yang telah diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti :
Abih sandiang dek Bageso, Abih miyang dek bagisiah.
Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali jangan bergaul bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau kawin (sebelum Islam).
- Untuk terlaksananya ketentuan larangan ini oleh anggota masyarakat, maka pemimpin-pemimpin adat di suatu nagari bermusyawarah untuk mufakat dengan hasil mufakat bulat. Dilarang bagi kaum wanita remaja keluar malam setelah jam delapan, kecuali ditemani oleh orang tuanya. Peraturan ini hanya berlaku di nagari tersebut saja, belum tentu tidak berlaku pada nagari lainnya. (disebut juga Adat Salingka nagari).
lain nagari lain adatnyo, lain padang lain belalangnyo,
lain lubuak lain ikannyo.
- Setiap perkawinan kaidah pokok dari nenek-moyang
ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,
bagalanggang mato rang banyak, datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.
Untuk pelaksanaan aturan pokok tentang perkawinan ini, maka nagari-nagari penghulunya membuat peraturan pelaksanaan melalui musyawarah mufakat. Ada dengan ketentuan ada nagari yang membuat keputusan pelaksanaan jemput antar disiang hari, ada pula dimalam hari dengan mengutamakan seluruh masyarakat mengetahui bahwa sipolan dengan sipolin telah nikah. Ada pula keputusan penghulu disuatu nagari yang membuat peraturan seperti : Kedua marapulai diarak dengan pakaian yang diatur pula dengan musyawarah. Aturan Adat ini belum tentu sama dengan aturan nagari lainnya.
Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat kenagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. dan lain sebagainya.
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo.
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka terdapat kutipan-kutipan berikut:
“Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang menghalangi bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tangan mereka, menurut hukum adat : “Nan sehasta, anan sejengkal, dan setampak sebuah jari (Bulan Bintang 1999: 06).”
“Tapi pendengaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika bercinta-cinta (Bulan Bintang 1999: 47).”
“Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanya. Lalu dia berkata: mengapa engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan? (Bulan Bintang 1999: 50).”
“Tidak usah engku berbicara. Rupanya engakau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturunkan penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Pepatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemangungan yang dibutuhkan layu, yang dikisarkan mati (Bulan Bintang 1999: 103).”
“Hayati hanya korban dari kekejaman peraturan adat yang telah using itu (Bulan Bintang 1999: 109).”
4.2 Bentuk adat kebudayaan Minangkabau pada kisah tokoh utama dalam novel“Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka.
A. Harta pusaka, perkawinan, undang-undang dan hukum
1) Harta dan Pusaka
` Harat pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah harta yang diperoleh melalui usaha, kerja dan pencarian seorang ayah yang dapat dibagikan dan diwariskan kepada anak dan istrinya. Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh dari hasil kerjasama, gatong royong antara mamak dan kemenakan dalam suatu suku atau kaum pada masa lalu yang diperuntukkan manfaatnya bagi saudara dan kemenakan perempuan menurut suku atau kaum dari garis ibu sesuai konsep meterinial, sedangkan tanah ulayat adalah didapat dari pembagian wilayah kekuasaan antara penghulu dalam suatu nagari menurut sesuai jumlah masing-masing suku yang ada dalam nagari itu pada zaman dulunya.
Status kepemilikan
Status kepemilikan
Harta pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah milik pribadi yang dapat diperjual belikan atau dipindah tangankan oleh seseorang kepada orang lain, harta pusaka tinggi adalah milik suku atau kaum yang terdiri dari kesatuan kekrabatan keluarga besar dalam suatu suku atau kaum yang diatur pemanfaatannya oleh ninik mamak penghulu suku untuk saudara perempuan dan kemenakan, inilah yang disebut dalam aturan adat bahwa “Mamak maulayat diharato pusako” (Mamak mengulayat pada harta pusaka).
Pengertian mamak mengulayat pada harta pusaka adalah bahwa seorang mamak penghulu suku yang ditunjuk atau dipilih oleh saudara dan kemenakan dalam suku atau kaum di Minang Kabau mempunyai tanggung jawab yang besar kepada saudara dan kemenakan dalam suku atau kaum yang dipimpinnya, diantaranya adalah menjaga memelihara dan menagtur pemanfaatan harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk saudara dan kemenakan dari suku yang dipimpinnya, dengan palsapah adat “Nan kamaagak maagiahkan, nan kamanimbang samo barek, nan kamaukua samo panjang, nan kamambagi samo banyak, sasuai mungkin jo patuik sukua mangko manjadi”
Larangan menjual mengadai harta pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi atau tanah ulayat di Minang Kabau tidaklah boleh dipejual belikan ataupun digadaikan kepada orang lain, karena kalau harta pusaka tinggi digadaikan atau apalagi dijual kepada orang lain maka suatu suku atau kaum akan kehilangan ulayat dan hartanya sehingga tidak adalagi jaminan hidup bagi saudara dan kemenakan perempuan dimasa-masa yang akan datang, dan akan terjadi penurunan nilai-nilai kekerabatang materinial itu sendiri, inilah yang disebut dalam pepatah adat “harato pusako tinggi dijua indak dimakan bali digadai indak dimakan sando” (harta pusaka tinggi dijual tidak dimakan beli digadai tidak dimakan agun)
Harta pusaka tinggi atau tanah ulayat di Minang Kabau tidaklah boleh dipejual belikan ataupun digadaikan kepada orang lain, karena kalau harta pusaka tinggi digadaikan atau apalagi dijual kepada orang lain maka suatu suku atau kaum akan kehilangan ulayat dan hartanya sehingga tidak adalagi jaminan hidup bagi saudara dan kemenakan perempuan dimasa-masa yang akan datang, dan akan terjadi penurunan nilai-nilai kekerabatang materinial itu sendiri, inilah yang disebut dalam pepatah adat “harato pusako tinggi dijua indak dimakan bali digadai indak dimakan sando” (harta pusaka tinggi dijual tidak dimakan beli digadai tidak dimakan agun)
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka terdapat kutipan-kutipan berikut:
“Seorang anak muda bergelar pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tungggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gandang (Bulan Bintang 1999: 05).”
Setelah meninggal dunia ibunya, maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya, Datuk Mantari Labih. Mamaknya itu, usahkan menukuk dan menambah, hanya pandai menghabiskan saja. Harta benda, beberapa tumpak sawah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang lain. Kalau Pandekar Sutan mencoba hendak menjual atau menggadai pula, selalu dapat bantahan, selalu tidak semufakat dengan mamaknya (Bulan Bintang 1999: 05).”
“Ketika meminta janji itu, si kerabat beralasan bahwa mamak-mamaknya belum cukup hadir, padahal memang disengaja tidak hadir. Dikatakan bakonya perlu tahu, sapih belahan empat jurai di kampong anu, hindu suku di dusun anu, perlu tahu lebih dahulu. Maksudnya ialah untuk memperlihatkan ketinggian adat istiadat yang dipakai, meninggikan derajat pusaka yang dijawat turun temurun (Bulan Bintang 1999: 95).”
2) Perkawinan
Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.
Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara.
Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
Kedua calon mempelai harus beragama Islam. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa "Perkawinan itu sesuatu yang agung", yang kini diyakini hanya "sekali" seumur hidup.
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka terdapat kutipan-kutipan berikut:
“Darah muda masih mengalir dalam badannya. Dia hendak kawin, hendak berumah tangga, hendak melawan laga kawannya, sebab segala penghasilan sawah dan ladang diangkutnya ke rumah anaknya. Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang menghalangi bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tangan mereka, menurut hukum adat : “Nan sehasta, anan sejengkal, dan setampak sebuah jari (Bulan Bintang 1999: 06).”
“Ketika meminta janji itu, si kerabat beralasan bahwa mamak-mamaknya belum cukup hadir, padahal memang disengaja tidak hadir. Dikatakan bakonya perlu tahu, sapih belahan empat jurai di kampong anu, hindu suku di dusun anu, perlu tahu lebih dahulu. Maksudnya ialah untuk memperlihatkan ketinggian adat istiadat yang dipakai, meninggikan derajat pusaka yang dijawat turun temurun (Bulan Bintang 1999: 95).”
“Setelah segala permintaan dari pihak aziz disampaikan orang kepada Datuk … dan kepada segala ninik mamak yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula surat yang dikirm Zainuddin, diadakanlah permusyawaratan ninik mamak menurut adat yang terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelih ayam empat ekor. Dibentangkan tikar pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah pukul 7 pagi, diundur ke sawah dan ke ladang buat sehari itu (Bulan Bintang 1999: 101).”
“Demikian maka tuan-tuan saya hadirkan dalam rumah nan gedang ini, yaitu elok kata dengan mufakat buruk kata di luar mufakat, tahi mata tak dapat dibuangkan dengan empu kaki (Bulan Bintang 1999: 101).”
“Karena menurut adat yang biasa, tentu kita kaji lebih dahulu, hereng dengan gendeng, rebut nan mendingin, renggas nan melanting,dikaji adat nan lembaga, yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang dipanas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa (Bulan Bintang 1999: 102).”
“Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami apa isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu (Bulan Bintang 1999: 108).”
3) Undang-undang dan hukum.
Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterma dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati serta diamalkan. Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang ada seperti raantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya.
Dengan kata lain undang-undang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.
Sebagai sendi dari undang-undang adat yaitu : cupak nan duo, kato nan ampek (cupak yang dua, kata yang empat). Cupak yang dua adalah cupak usali (cupak asli) dan cupak buatan. Sedangkan kato nan ampek adalah kato pusako, kato mupakat, kato dahulu dan kato kudian.
Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka terdapat kutipan-kutipan berikut:
‘Orang yang begini, meskipun terlepas dari jaringan undang-undang, tidak juga akan merasai nikmat sedikit pun ke mana jua dia pergi (Bulan Bintang 1999: 141).”
“Hayati hanya korban dari kekejaman peraturan adat yang telah using itu (Bulan Bintang 1999: 109).”
“Minangkabau negeri beradat, seakan-akan hanya disana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak (Bulan Bintang 1999: 109).”
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN
Adat dalam minangkabau merupakan kebudayaan yang utuh. Adat mengatur segala bentuk kehidupan peribadi dan masyarakat yang berlandaskan budi-pekerti yang baik dan mulia. Dalam adat minangkabau juga melarang perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang benar. Orang yang tidak sesuai dengan peraturan sering disebut “urang indak ba adat”. Kata petatah adalah patokan adat masyarakat minangkabau. Pertatah disebut juga dengan pepatah, asal katanya ialah tatah bukan patah, artinya pahatan dan patokan. Petatah atau pepatah dalam bahasa minangkabau diartikan pahatan kata, atau patokan atau kata-kata yang mengandung pahatan kata atau patokan kata yang berupa hukum.
Bentuk adat kebudayaan Minangkabau pada kisah tokoh utama dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” karya Buya Hamka. Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh dari hasil kerjasama, gatong royong antara mamak dan kemenakan dalam suatu suku atau kaum pada masa lalu yang diperuntukkan manfaatnya bagi saudara dan kemenakan perempuan menurut suku atau kaum dari garis ibu sesuai konsep meterinial, sedangkan tanah ulayat adalah didapat dari pembagian wilayah kekuasaan antara penghulu dalam suatu nagari menurut sesuai jumlah masing-masing suku yang ada dalam nagari itu pada zaman dulunya.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul. 1997. HUKUM ADAT INDONESIA (Meninjau Hukum Adat Minangkabau). Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Bintang, Bulan. 1999. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Kabarito. 2014. Macam-Macam Adat di Minangkabau. (Online)http://www.kabaranah.com/2014/11/macam-macam-adat-di-minangkabau.html Diakses 02 Januari 2016.
Minangkabau. 2009. Empat Jenis Adat di Minangkabau ( ADAT ISTIADAT MINANGKABAU).(Online)https://www.facebook.com/notes/minangkabau/empat-jenis-adat-di-minangkabau-adat-istiadat-minangkabau-/162499189591/ Diakses 02 Januari 2016.
Navis, A.A. 1984. ALAM TERKEMBANG JADI GURU (Adat dan Kebudayaan Minangkabau).Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers.
Sina, Rais I. 2014. HARTA PUSAKA TINGGI DAN TANAH ULAYAT DI MINANGKABAU (Online)http://raisibnusina.blogspot.co.id/2014/03/harta-pusaka-tinggi-dan-tanah-ulayat-di.htmlDiakses 02 Januari 2016.
No comments:
Post a Comment